Mahasiswa Soroti Markup Biaya SIM: Polres Diminta Transparan Soal Tarif Resmi

Gambar aksi didepan Mapolres Polman.

Polewali Mandar, — Sejumlah mahasiswa menyampaikan kritik keras kepada Satlantas Polres Polman terkait dugaan markup biaya pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Aksi berlangsung di depan Mapolres Polman, ditandai dengan pembakaran ban dan orasi bergantian yang menuntut transparansi pelayanan publik.

Setelah itu, pihak kepolisian mempersilakan massa untuk berdialog langsung dengan Kabag Ops dan Kasat Lantas Polres Polman.

Dialog digelar di samping ruang pengaduan SPKT, tempat mahasiswa menyampaikan beragam keluhan masyarakat mengenai ketidaksinkronan antara tarif resmi dan biaya yang terjadi di lapangan.

Kasat Lantas Polres Polman, AKP Arfian Restu Jaya, menjelaskan bahwa beberapa komponen biaya tidak lagi dikelola langsung oleh Polri.

“Psikologi itu langsung dipegang pihak ketiga, sebesar Rp100.000. Untuk kesehatan Rp50.000. Dan itu bisa berbeda di tiap wilayah,” ujar Arfian dalam dialog tersebut.

Ia menegaskan bahwa kepolisian tidak mampu mengawasi seluruh personel selama 24 jam penuh, sehingga masyarakat diminta memanfaatkan nomor pengaduan dan kotak saran yang telah ditempatkan di setiap titik pelayanan.

Namun penjelasan itu mendapatkan tanggapan kritis dari mahasiswa. Mereka menilai informasi mengenai biaya penerbitan SIM belum sepenuhnya transparan dan tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat.

Menurut mahasiswa, fakta lapangan menunjukkan adanya warga yang membayar antara Rp400.000 hingga Rp450.000, bahkan dalam selisih waktu beberapa menit saja.

“Lonjakannya sangat tinggi, Pak. Bahkan sebagian besar masyarakat tidak tahu berapa tarif resmi pembuatan SIM. Bagaimana masyarakat bisa tahu kalau pihak kepolisian sendiri mengaku tidak tahu tarif detailnya?” ujar salah satu mahasiswa.

Mereka menilai persoalan utama bukan semata keterbatasan informasi, tetapi lemahnya pengawasan internal. Mahasiswa mempertanyakan apakah Standard Operating Procedure (SOP) penerbitan SIM berjalan sesuai aturan.

“Pendapatan Negara Bukan Pajak itu sudah jelas aturannya. Tapi masyarakat sering dikenakan biaya tambahan oleh pihak-pihak tertentu. Banyak yang membayar sampai Rp500.000. SOP-nya pernah jalan atau tidak?” tegas peserta dialog lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Arfian menyebut bahwa pihaknya terus melakukan sosialisasi, namun keterbatasan jumlah personel membuat penyebaran informasi tidak maksimal, terutama di wilayah terpencil.

Ia menegaskan akan meminta jajaran Kapolsek untuk memperkuat sosialisasi terkait mekanisme dan tarif resmi pembuatan SIM.

“Untuk kami sendiri, personel terbatas, sehingga tidak bisa mencakup semua wilayah. Tapi nanti kami sampaikan ke Kapolsek agar informasi ini bisa menyeluruh,” ujarnya.

Meski demikian, mahasiswa menekankan bahwa pemulihan kepercayaan publik tidak cukup hanya dengan sosialisasi. Mereka mendesak adanya tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran petugas di lapangan.

Mahasiswa menyebut bahwa legitimasi keberhasilan pelayanan Polri ditentukan oleh pengalaman masyarakat, bukan klaim institusi.

“Legitimasi kepercayaan bukan ditentukan Polri, tapi ditentukan masyarakat. Dan hari ini, banyak rakyat kehilangan kepercayaan. Kami tidak ingin operasi pelayanan ini sekadar formalitas. Kami ingin pembenahan yang nyata,” tutup mahasiswa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *