Mahasiswa Kritik Kenaikan PBB di Polman, Sebut Pemkab Kejar PAD

Polewali Mandar – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berdampak pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menuai kritik keras dari kalangan mahasiswa.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Plh. Sekda Polman Ahmad Syaifuddin, Badan Keuangan Pemkab Polman Nawir, Asisten II Arifin Yambas, Kepala Badan Pendapatan Daerah Alimuddin, yang difasilitasi DPRD, mereka menilai kebijakan itu sah secara hukum, tetapi tidak rasional bila dilihat dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik.

“Secara hukum memang sah. Tapi tidak berarti sah secara sosial, ekonomi, dan politik. Faktanya, daya beli masyarakat terus menurun, sementara beban hidup semakin tinggi,” kata salah seorang perwakilan mahasiswa di hadapan anggota DPRD dan Eksekutif ruang Aspirasi, Selasa (26/8/2025).

Mahasiswa menuding pemerintah daerah lebih fokus mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketimbang memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Mereka menyebut argumen pemerintah yang mengatakan kenaikan NJOP akan meningkatkan nilai aset warga sebagai tidak logis.

“Betul aset naik, tapi pajak ikut naik. Masyarakat kita hidup dari sawah, kakao, dan kebun, bukan dari menjual tanah,” ujarnya.

Dalam forum itu, mahasiswa juga membandingkan dengan sejumlah daerah lain yang memilih menunda kenaikan PBB demi mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat pascapandemi. “Banyak usaha yang tutup, banyak toko gulung tikar. Tapi di sini justru pajak dinaikkan,” kata mereka.

Selain menyoal aspek ekonomi, mahasiswa juga mengaitkan kebijakan pajak dengan prinsip hak asasi manusia. Hunian, kata mereka, adalah hak dasar yang semestinya tidak dibebani pajak berlebihan. Mereka mencontohkan kebijakan di Jakarta yang membebaskan pajak untuk 60 meter pertama tanah dan 32 meter pertama bangunan.

“Pertanyaannya, apakah pembebasan rumah sederhana di bawah 13,97 meter persegi yang berlaku tahun ini hanya sementara? Jangan sampai kebijakan ini hanya untuk menutupi kenaikan yang sebenarnya,” kata mahasiswa.

Mereka pun menduga kenaikan PBB dilakukan untuk menutup kekurangan PAD. Kritik diarahkan pada rendahnya capaian pendapatan daerah dari sektor lain, seperti retribusi parkir yang jauh dari target Rp5 miliar pada 2024. “Kenapa kebocoran itu tidak dibenahi dulu? Kenapa justru rakyat yang jadi sasaran?” tegasnya.

Mahasiswa mengibaratkan PBB sebagai ikan di permukaan yang mudah ditangkap karena masyarakat relatif tertib membayar, sementara potensi PAD lain yang lebih besar dibiarkan tenggelam tanpa pengelolaan maksimal.

Selain substansi kebijakan, mereka juga mengkritik teknis pelaksanaan RDP yang molor lebih dari dua jam tanpa pemberitahuan. “Kami berharap ke depan undangan rapat bisa dihormati. Eksekutif dan legislatif posisinya sejajar, tidak ada yang lebih tinggi,” kata mereka.

Kepala Badan Pendapatan Daerah Polman menyampaikan bahwa penyesuaian NJOP terakhir dilakukan pada 2022. Sesuai aturan, evaluasi wajib dilakukan setiap tiga tahun, sehingga 2025 menjadi waktu yang tepat untuk pembaruan data.

“Selain regulasi, ada rekomendasi BPK sejak 2021 yang meminta Pemkab melakukan pendataan lebih aktif serta menyusun kriteria jelas terkait penyesuaian NJOP. Rekomendasi ini yang menjadi dasar kuat kami melaksanakan penyesuaian pada 2025,” ujarnya dalam rapat bersama DPRD.

Dijelaskan, keputusan Bupati tentang penyesuaian NJOP terbit pada 17 Februari 2025. Dari 242.800 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan, setiap objek hanya dinaikkan satu kelas. Kenaikan pada kelas bumi terendah mencapai 41,67 persen, sedangkan kelas tertinggi naik sekitar 8,13 persen.

“Tarif pajak tidak berubah, tetap 0,1 persen. Yang berubah adalah NJOP, sehingga secara otomatis berpengaruh pada PBB terutang,” jelasnya.

Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen memperbaiki kinerja pendapatan dari sektor retribusi. Sejak 2024, Pemkab bersama DPRD membahas langkah-langkah optimalisasi, termasuk retribusi parkir dan pasar. Rencana aksi sudah disiapkan, mulai dari identifikasi potensi, penambahan objek retribusi, hingga penerapan sistem digitalisasi.

“Kita sudah siapkan konsep implementasi di lapangan, dimulai dari wilayah dengan potensi parkir besar seperti Wonomulyo. Bahkan ada dukungan dari pihak perbankan untuk penerapan digitalisasi retribusi,” tambahnya.

Dengan penjelasan ini, Pemkab menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian PBB bukan semata menaikkan beban pajak, melainkan upaya menyesuaikan data sesuai aturan, sembari terus mengoptimalkan sektor PAD lainnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *